"KEBEBASAN PERS" DALAM DEMOKRASI


Oleh: Teguh Triatmoko.

I.         PEMBUKAAN.
I.1 Kebebasan pers pada masa tahun 1966 dan tahun 1998.
Kebebasan pers dalam era reformasi yang diawali pada tahun 1998 menjadi suatu diskursus menarik, hangat dan menimbulkan pro dan kontra tersendiri. Ada yang takut atau khawatir dan menilai kebebasan pers ini sudah kebablasan dan ada yang menilai biasa-biasa saja dalam suatu nilai demokrasi. Hal yang menarik bagi saya adalah bahwa saya menemukan dalam catatan Soe Hok Gie, fenomena kebebasan pers ini ternyata juga menjadi bahasan dia dalam masa “Zaman Peralihan” pada pemerintahan tahun 1966.
Pada saat itu pemerintahan Orde Lama Sukarno mulai menjalankan suatu pola yang dikatakan “Demokrasi Terpimpin” atau dinilai otoriter dan kemudian beralih ke zaman Orde Baru era Soeharto. Catatan-catatan Soe Hok Gie pada masa “Zaman Peralihan” itulah yang banyak dipublikasi oleh media pers.
Dalam catatannya, Soe Hok Gie menceritakan bahwa pers terutama media cetak, mengungkap kasus-kasus pada pejabat tingkat atas. Ia bercerita bahwa kebebasan pers ini dianggap meningkatkan gairah rakyat dalam berekspresi namun juga cepat mengecewakan karena tidak ada tindakan apa pun dalam pemberitaan-pemberitaan dari pengungkapan-pengungkapan kasus yang terjadi. Ia menuturkan daripada tidak adanya koordinasi dan tindakan tegas dari aparat pelaksana hukum lebih baik atmosfer kebebasan pers ini ditiadakan saja.
Dan kemudian beranjak ke tahun 1998 masa berakhirnya Orde Baru kepemimpinan Soeharto, yang pada saat itu dinilai otoriter, kegairahan kebebasan pers kembali terlihat dengan pola pengungkapan kasus-kasus para pejabat Negara dimana pada sebelumnya pers dinilai dibatasi atau dikekang dalam suatu pemerintahan yang dinilai otoriter pada Orde Baru. Yang harus dilihat pada kebebasan pers pada tahun 1998 adalah zaman dimana teknologi media sudah berkembang termasuk juga teknologi media pers. Zaman audio-visual dan Internet dan segala alat-alat perangkat pendukungnya sudah dipublikasikan dan digunakan secara massal. Bukan saja aksi sudut-menyudutkan, tangkap-menangkap yang diberitakan dalam pers, namun juga kebebasan beropini, berpendapat dan bersuara terjadi bahkan sampai tindakan pornografi dan pornoaksi menjadi bahasan media pers.

II.       PEMBAHASAN.
II.1 Memaknai Arti Kebebasan Pers.
Dalam kehidupan ini terdapat peralihan saling silih berganti antara siang dan malam. Dalam The Noble Qur’an terdapat 759 ayat jika memasukkan kata “day” dan kata “night”, atau terdapat 1.174 ayat jika memasukkan kata “day and night” yang artinya bagaimana suatu sudut pandang Qur’an dalam mengartikan petanda siang dan malam.
Saya mengambil contoh 4 ayat yaitu;
Al-Baqarah ayat 164 (2:164):
“Sungguh, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, dan kapal-kapal besar yang berlayar melalui laut dengan apa yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit hujan, dengan demikian memberikan kehidupan kepada bumi setelah tidak bernyawa, dan menyebar di dalamnya setiap (jenis) makhluk yang bergerak, dan (Nya) mengarahkan angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi adalah tanda bagi orang yang menggunakan akal.”
Ali Imran ayat 190 (3:190):
“Memang dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah tanda-tanda bagi mereka yang memahami.”
Ar-Ra’d ayat 3 (13:3):
“Dan Dialah yang menyebarkan bumi dan menempatkannya dengan kuat di gunung dan sungai; dan dari semua buah-buah yang dibuatnya di dalamnya dua teman; Dia menyebabkan malam menutupi hari. Memang dalam hal itu ada tanda-tanda bagi orang yang berpikir.”
An-Nur ayat 44 (24:44):
“Allah mengganti malam dan siang. Sesungguhnya dalam hal itu adalah pelajaran bagi mereka yang mempunyai visi.”
Penulis melihat pada keempat ayat tersebut menjelaskan suatu hubungan tanda siang dan malam pada kaum atau sekumpulan orang yang mau berpikir, memahami dan melihat atau mempunyai suatu visi.
Dan kemudian hubungan dengan pembahasan mengenai kebebasan pers menurut penulis adalah bahwa pers merupakan suatu kegiatan atau aktivitas yang bersifat siang atau matahari, dalam artian bahwa suatu kebebasan pers ini harus bersifat menjelaskan secara terang benderang atau memberi sinar atau pencahayaan pada suatu peristiwa. Karena pers ini bersifat matahari maka memaknai suatu kebebasan pers yaitu juga membebaskan suatu tata bahasa dalam aktivitas pers, baik itu bahasa yang bersifat mengejek, mengolok-olok atau kekanak-kanakkan mau pun bahasa yang dinilai mempunyai suatu kandungan otoritatif. Karena bersifat matahari, maka kebebasan pers juga mau tidak mau akan menyentuh suatu hal yang dinilai pornografi dan pornoaksi.
Akibat suatu hal yang bersifat matahari maka suatu aktivitas pers tidak bisa dimasukkan ke dalam aturan suatu kekuasaan Negara/Pemerintahan dikarenakan suatu kekuasaan Negara/Pemerintahan cenderung bersifat malam, oleh karena itu dibuatlah suatu aturan tersendiri seperti dewan pers yang akan menyelesaikan suatu permasalahan jika terjadi masalah dalam kegiatan bersifat pers.
II.2 Pers Pilar ke-4 Demokrasi dalam Trias Politica.
Bagaimana fungsi pers bisa dikatakan suatu pilar ke-4 dalam sistem demokrasi yang menganut azas Trias Politica, maka diperlukan penglihatan sejarah dari perjalanan aktivitas pers pada awal-awal gagasan ide Demokrasi Sekular dan Trias Politica dalam politik pendirian Negara Republik Prancis.
Penulis menilai bahwa gerakan atau aktivitas pers modern di awali dengan beredarnya suatu tulisan-tulisan ke publik oleh seorang tokoh bernama Francois Marie Arouet atau lebih dikenal dengan nama pena Voltaire, yang merupakan seorang Filsuf Abad Pencerahan/Renaissans. Suatu kritik atau gaya mengejek ditujukan kepada kekuasaan sekular Monarki Absolut dan kekuasaan agama Gereja yang mendukung dan melegitimasi bentuk pemerintahan Monarki Absolut.
Dua hal kritik yang terkemuka dalam aktivitas persnya ialah kritik terhadap doktrin bahwa Raja diangkat karena mempunyai bentuk kesucian dan terbentuk dari garis keturunan serta kritik terhadap penyelewengan dana surat penebusan dosa oleh Gereja. Kemudian atas hal-hal inilah merebak aktivitas-aktivitas bersifat pers yang mengajukan gagasan-gagasan kepada publik dari para Aristokrat dan Intelektual lain untuk membentuk suatu pemerintahan Demokrasi Sekular modern Negara Republik Prancis.
Penulis menilai bahwa ide utama dari suatu bentuk pemerintahan Demokrasi Sekular modern ini ialah memindahkan secara bertahap kepengurusan aset-aset yang bersifat privat yang dimiliki oleh keabsolutan Raja dan Gereja serta beberapa aristokrat menjadi bersifat milik publik. Hal ini dapat dijumpai pada suatu bentuk “kepemilikan saham” dari perusahaan-perusahaan yang dikategorikan go public pada masa kontemporer saat ini.
Dalam perpindahan kepemilikan-kepemilikan ini, maka aktivitas pers menjadi peranan penting seperti matahari yang mampu terus-menerus memberikan penerangan dalam aktivitas kepemilikan publik. Sehingga pers di sini juga berfungsi menciptakan suatu kesetaraan dan keseimbangan kekuatan, baik kekuatan sumberdaya alam atau aset fisikal, finansial serta sumberdaya manusia dan gagasan-gagasan baru yang muncul untuk mengelola hal tersebut.
Atas dasar hal inilah maka kemudian pers dapat dikatakan suatu Kekuasaan Ke-4/Pilar ke-4 dari suatu bentuk perwujudan Demokrasi Sekular modern untuk mengawasi jalannya Trias Politica dan juga kesetaraan dalam relasi antar Publik, Publik dan Kekuasaan dan antar Kekuasaan.
II.3 Pornografi dan Pornoaksi dalam Kebebasan Pers.
Seperti diketahui pada pemikiran penulis di atas, bahwa pers atau aktivitas yang berkaitan dengan pers merupakan aktivitas yang bersifat Matahari. Maka kemudian isu-isu pornografi dan pornoaksi juga menjadi sorotan kegiatan bersifat pers. Mulai dari karya-karya yang dinilai mengandung mempunyai cita rasa seni yang tinggi seperti karya-karya “Gerakan Renaissans” sampai karya-karya biasa atau murahan yang timbul dari aktivitas pers rakyat.
Dari Gerakan Renaissans inilah kemudian publikasi-publikasi yang berbau porno terus merebak sampai tercipta suatu Gerakan Punk yang bermula di Inggris pada akhir abad 20 masehi yang mempunyai suatu cita-cita kesetaraan dan kesamaan dalam Hukum dan Hak Asasi Manusia yang merupakan suatu nilai yang bersifat Matahari. Gaya penulisan mengejek, mencemooh dan terang-terangan menebar kebencian standar moral hirarkis dari suatu Otoritas ditonjolkan dalam bahasa gerakan kaum punk.
Tentu saja hal ini menimbulkan polemik dari sudut pandang agama Islam maupun Kristen, padahal masalah seksualitas ini juga bagian dalam membentuk peradaban suatu bangsa, baik yang bersifat sekularistik sampai bersifat relijius. Contoh kitab Kama Sutra dalam Hindu, lalu bagaimana dengan Islam dan Kristen? Akibat hal inilah maka timbul pelbagai sudut pandang batasan, mulai dari pemberian label konsumsi usia, sensor, kasta/kelas sosial dan ras sampai masalah isu eksploitasi dan Hak Asasi Manusia (praktek perbudakkan, homoseksual kaum Lutherian/Gay, Lesbian serta kisah Sodom and Gomorrah).
Dan tentu saja penulis dalam tulisan ini tidak akan mengajukan pandangan mengenai hukum seksualitas karena tulisan ini difokuskan untuk pembahasan aktivitas pers dan kebebasannya.

III.    PENUTUPAN.
III.1 Tantangan Pers dalam Demokrasi di Republik Indonesia.
Jika berbicara mengenai term kata “Kekuasaan ke-4”, maka tantangan yang dihadapi Pers ini adalah bagaimana suatu hal-hal bersifat malam diminimalisir atau jika bisa ditiadakan dalam aktivitasnya. Jika berbicara “Kekuasaan” maka kata itu mengandung suatu makna malam atau cenderung berbau kegelapan. Maksud dari sifat malam ini adalah masa ketika suatu hal bersifat hirarkis/tingkatan sosial/kasta sosial/kelas sosial; baik itu disusun berdasarkan harta, usia, lingkar keluarga dan sebagainya. Ini adalah suatu tantangan bagaimana pers menyusun struktur organisasinya dan standar etikanya pada pelaku pers yang sudah berbentuk korporasi.
Tantangan berikutnya adalah jika berbicara mengenai pers dalam demokrasi di Indonesia, fungsi pers dalam melayani publik untuk membentuk sifat matahari, maka pers juga bersifat global dalam artian bagaimana menjaga semangat kesetaraan kekuatan antar wilayah dalam kerangka kesetaraan kekuatan informasi pers dalam menjalankan fungsinya seperti cita-cita awal para pembentuk sistem demokrasi dan sistem republik.
Tentu saja akan selalu ada risiko jika melihat relasi Kekuasaan/Otoritas pada apa yang dinamai dengan “kebebasan” dan “kesetaraan”. Contoh pada kisah yang terkenal adalah hukuman penyaliban para pembangkang pada jaman Kekaisaran Romawi Kuno sebagai contoh kesengsaraan dan kepedihan penyaliban Yesus/Jesus/Isa. Lalu kemudian kisah kesengsaraan kesendirian Maryam yang melahirkan anak kadung tanpa ayah yang jelas yang bersandar pada pohon kurma dalam kisaran waktu sekitar musim kemarau June Solstice untuk dapat bertahan ketika melahirkan anak tanpa ayah yang jelas/garis keturunan yang jelas. Dan atas hal itulah para pemikir-pemikir pos modernisme mencari batasan-batasan yang hakiki setelah jaman pengusung kebebasan pada era modernisme dengan memeriksa kembali pelbagai teks-teks agama dan teks-teks modernisme. Itulah tantangan-tantangan besar yang dihadapi pers di Indonesia dalam kerangka mewujudkan demokrasi. Tanpa adanya demokrasi sekular modern seperti saat ini, maka tak ada pula bentuk pers atau media massa/sosial seperti saat ini.

IV.    DAFTAR PUSTAKA:
Gie, Soe Hok. “Soe Hok Gie: Zaman Peralihan”. GagasMedia: Jawa Barat. Tahun 2005 masehi.
Hart, Michael H. “Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah”. Terjemahan Mahmub Djunaidi. PT Dunia Pustaka Jaya: DKI Jakarta. Tahun 1982 masehi; https://media.isnet.org/kmi/iptek/100/Voltaire.html.
Manan, Bagir. “Politik Publik Pers”. Dewan Pers: DKI Jakarta. Tahun 2012 masehi.
 “The Noble Quran”; https://quran.com.



Bekasi, 28 April 2020 Masehi.

Siklus Bulan:
5 Puasa 1953 Jawa.
5 Ramadhan 1441 Hijriah.
25% Pasang Naik.




Komentar

P.O.P 7

KISAH SKIZOFRENIA NO. 108

KISAH SKIZOFRENIA NO. 109

KISAH SKIZOFRENIA NO. 107

KISAH SKIZOFRENIA NO. 110

KISAH SKIZOFRENIA NO. 106

KISAH SKIZOFRENIA NO. 95

Tayangan Populer

KABAR CERITERA

HERBA

BISIK

PENGORBANAN

ISI

DIALOG ZAMAN

RUMPUT LIAR PENJAGA SANG MAWAR

SURAT UNTUK BUNDA