JAM

Satu-satunya barang berharga yang masih tersisa di rumahnya adalah jam. Jam dinding peninggalan kakeknya yang sengaja ia pasang di ruang tamu supaya setiap orang yang datang bertandang bisa ikut mengagumi waktu. Tiap jam dua belas malam jam itu berdentang dua belas kali.

Ia sangat sayang kepada jamnya hingga mati-matian mempertahankannya meskipun sudah banyak orang ingin membelinya. Setiap meninggalkan rumah, ia tak pernah lupa pamitan, “Jam, aku pergi dulu ya!” Dan hanya jamnya yang ia rindukan bila ia pergi jauh dan lama ke luar kota. Teringat jam, ia teringat almarhum kakeknya yang punya hobi bongkar-pasang jam sampai matanya minus delapan.

Mewah sekali rasanya duduk santai di bawah jam di malam hujan sembari merokok dan baca koran, mendengarkan dua belas dentang jam, mengenang yang telah silam, membayangkan yang bukan-bukan sambal senyum-senyum (dan, kalau perlu, menangis) sendirian, kemudian tertidur di sandaran kursi sampai saat terdengar kumandang adzan.

Hari itu ia pulang dari keliling-keliling di luar negeri: cari uang, cari pacar, cari gengsi, cari pengalaman, dan katanya sih cari tujuan. Ia membawa oleh-oleh banyak sekali, termasuk beberapa arloji; semuanya untuk dirinya sendiri.

Sungguh parah kangennya hingga begitu membuka pintu ia langsung berseru, “Jam, aku pulang!” Sayang, jam tidak bisa terharu. Ia malah bingung: “Sebetulnya siapa yang lebih pengembara: kamu atau aku?” Toh tiap jam dua belas malam ia tetap berdentang dua belas kali.


Joko Pinurbo

Sumber: Kumpulan puisi Joko Pinurbo. “Telepon Genggam”. Penerbit Buku Kompas: DKI Jakarta. Tahun 2003 Masehi.


Posted:
Bekasi Kota, 20 Mei 2024 Masehi.
Teguh Triatmoko.


Siklus Bulan:
91% Pasang Naik.



Komentar

P.O.P 7

KISAH SKIZOFRENIA NO. 108

KISAH SKIZOFRENIA NO. 109

KISAH SKIZOFRENIA NO. 107

KISAH SKIZOFRENIA NO. 110

KISAH SKIZOFRENIA NO. 106

KISAH SKIZOFRENIA NO. 95

Tayangan Populer

KABAR CERITERA

HERBA

BISIK

PENGORBANAN

ISI

DIALOG ZAMAN

RUMPUT LIAR PENJAGA SANG MAWAR

SURAT UNTUK BUNDA