KAUM INTELEKTUAL: PERANAN DAN FUNGSI DALAM PUBLIK (REPUBLIK)

Dinamika pergolakan dan perubahan dalam sejarah dan struktur politik-kekuasaan tentu saja erat kaitannya dengan kesadaran intelektual dalam suatu bangsa. Tulisan ini ingin mencari arti dari pengungkapan peristiwa arah laju perubahan-perubahan dinamika sosio kultur dalam membentuk struktur tata keteraturan dalam suatu masyarakat pada wilayah dan waktu tertentu.


I. DEFINISI INTELEKTUAL.


I.1. DEFINISI INTELEKTUAL SECARA GENERAL.


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Intelektual merupakan yang mempunyai kecerdasan tinggi, cendikiawan, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.


Menurut “Oxford English Dictionary”, yang disebut Intelektual merupakan yang mempunyai akal atau kepemahaman.


Dari definisi di atas maka tidak disebutkan apakah Intelektual itu harus menjalani suatu jenjang pendidikan formal atau nonformal. Pada pemahaman massa rakyat dan publik, Intelektual biasanya mengacu kepada orang-orang yang telah menempuh jalur pendidikan kesarjanaan, baik itu S1, S2 ataupun S3.


I.2. DEFINISI INTELEKTUAL DALAM SEJARAH PEMIKIRAN KAUM INTELEKTUAL.


I.2.1 PIRAMIDA SOSIOLOGI MENURUT ALI SHARIATI.


Seorang Intelektual Islam Ali Shariati yang lahir di Kabupaten Kahak, Iran; Memandang bahwa seorang Intelektual selalu sadar dalam interaksi-interaksinya dengan dunia luar (kontak asing) akan terdapat arus dua arah pengaruh yang di dalamnya mengandung perang dan konflik yang dapat mengubah karakteristik-karakteristik khas suatu masyarakat dalam suatu periode sejarah (mental, religius, ilmiah, sosio kultur dan eksistensial) akan menjadi ditinggalkan/pudar/dilupakan karena telah dipengaruhi oleh karakteristik yang baru: manusia baru. Menyadari hakekat konflik, memahami, menganalisa dan mengevaluasinya sangat penting untuk dilakukan oleh Kaum Intelektual agar dampak dari konflik tersebut pada masyarakatnya dapat diambil dan dipilih secara sadar segi-segi yang baik dari konflik tersebut dan melenyapkan segi-segi buruknya agar Kaum Intelektual dapat menghadirkan peranannya dalam membentuk dan menentukan nasib sejarah masyarakatnya.


Ali Shariati membagi struktur piramida masyarakat menjadi 3 bagian: 1. Massa rakyat terdapat pada lapisan terbawah adalah bagian terbesar dan paling tebal; 2. Kaum Intelektual yang berada di atas lapisan massa rakyat merupakan lapisan tipis pada setiap zaman dalam sejarah; 3. Lapisan Bintang-bintang pada puncak piramida yang merupakan manusia-manusia unik, pemikir-pemikir unik, genius-genius unik yang harus berkerlap-kerlip secara sporadis sebelum mereka dapat membentuk suatu kelompok dalam hirarki sosial.


Ciri kelas bawah piramida sosiologi adalah massa dengan agama yang bersifat tradisional dan fundamental, nostalgia pada masa lampau dan rigid. Kaum ini menganggap bahwa agamanya sajalah yang benar dan yang lain adalah salah atau profan; tradisi agama mereka merupakan hal yang sudah final dan abadi. Kaum ini konservatif dan reaksioner terhadap arus perubahan. Ciri kelas menengah piramida sosiologi adalah bersifat Intelektual dan terdidik dalam jalur kesarjanaan, mereka cenderung sekularistik dan non religius; atau jikapun beragama maka akan terdapat sentuhan rasionalitas, ilmiah dan empiris. Pada lapisan puncak piramida sosiologi yang merupakan kedudukan para Bintang mempunyai agama yang sama sekali berbeda dengan lapisan paling bawah piramida sosiologi dan membentuk perubahan pada lapisan menengah yang merupakan kaum Intelektual. Cara berpikir (Intelektualitas) mereka  berbeda dari cara berpikir massa rakyat dan Kaum Intelektual. Para Bintang ini memberikan suatu kejutan dan gebrakan yang menuju pada masa transasisi evolutif serta revolusi untuk menuju suatu pemahaman baru, cara berpikir baru, perspektif baru yang memperbaharui dan merevisi tatanan moral, sains dan sosio kultur yang lama. Tentu saja ini menimbulkan risiko penghujatan, penghinaan, pembuangan dan pemenjaraan. Bintang-bintang ini kemudian akan memapankan Kaum Intelektual baru dalam 100 atau 200 tahun mendatang karena selalu memenangkan pertarungan arah masa depan baik segi seni, filsafat dan sains.


I.2.2. INTELEKTUAL MAHASISWA MENURUT SOE HOK GIE.


Soe Hok Gie merupakan seorang Intelektual keturunan Cina yang lahir di Kota Jakarta Barat, Indonesia. Ia dinilai sebagai tokoh penting kemahasiswaan dalam periode 1960an. Soe Hok Gie menilai bahwa gerakan Intelektual terbagi dalam 2 jalur: 1. “Moral force” dan 2. “Political Force”. Kekuatan moral merupakan kekuatan luar sistem pemerintahan yang didasarkan pada logika benar dan salah. Logika benar dan salah ini ia kembangkan menjadi 2 bagian menjadi bersifat absolut dan relatif. Kemudian yang dinamakan kekuatan politik merupakan suatu kekuatan yang dibangun di atas logika perhitungan lemah dan kuat, ia bersifat struktural dalam sistem.


Soe Hok Gie menilai bahwa hal yang baik adalah gerakan mahasiswa harus bersifat sebagai “moral force” yaitu bersifat dorongan dari luar sistem, ini terlihat dari pemaparan kritisnya dalam menyikapi sikap Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dalam suksesi kepemimpinannya yang tidak mempunyai legitimasi dari mahasiswa umum, tidak adanya kontrol sosial terhadap KAMI dari arus bawah, tidak beraninya KAMI menyuarakan kritik terhadap isu-isu korupsi, KAMI yang telah diintervensi oleh “vested interest” suatu kelompok atau partai dan keterlibatan pejabat-pejabat KAMI yang menerima fasilitas mewah Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Pada statemennya dalam buku Zaman Peralihan ia menilai bahwa ia melihat KAMI sebagai “political force” tidak akan mempunyai masa depan.


Kemudian pada bab Pelacuran Intelektual ia bereaksi mempertanyakan juga apakah Intelektual-intelektual semacam Emil Salim, Sadli, Ismail Suny, Sutjipto dan Sumantri Brodjonegoro yang telah terkooptasi pemerintahan Soekarno dan menjadi bagian dari sistem regim Soekarno dimana harus berkompromi membahasakan Nasakom dan Manipol dapat dikatakan sebagai “pelacur Intelektual”?


I.2.3. CENDIKIAWAN DUNIA KETIGA MENURUT DORODJATUN KUNTJORO-JAKTI.


Dorodjatun mengungkapkan dalam tulisannya yang dipublikasikan pada tahun 1983 bahwa cendikiawan di dunia ketiga adalah orang “Barat” di dunia “Timur”. Ia berpandangan kemerdekaan bangsa-bangsa yang didapatkan oleh negara-negara pada dunia ketiga (pada abad ke-20) tak lepas dari peranan dari kaum cendikiawan dan beberapa di antaranya menjadi elit penguasa.


Ia berpandangan bahwa kegagalan resep pembangunan negara-negara yang baru merdeka tersebut adalah dikarenakan memasok pemikiran-pemikiran Barat demi melakukan upaya-upaya modernisasi (dengan 2 pilar utamanya liberalisasi dan rasionalisasi) dan industrialisasi ekonomi yang diimplementasikan langsung tanpa “adjustment” dan tanpa menyediakan alternatif-alternatif pemikiran yang bersumber dari kondisi sosio-kultur masyarakat dunia ketiga.


Ia menilai kegagalan pembangunan secara menyeluruh dalam membangun negara-negara yang baru merdeka tersebut karena tidak mempertimbangkan suatu jenis kondisi faktor wilayah Kotamadya dan Kabupaten Desa. Keberhasilan pembangunan hanya terbatas dan hanya dapat dinikmati pada wilayah-wilayah Kotamadya yang dihuni oleh golongan para elit. Sedangkan kegagalan pembangunan terjadi pada wilayah-wilayah Kabupaten Desa dikarenakan jenis masyarakat tersebut masih kuat mempertahankan tradisi atau bersifat tradisional. Padahal telah dilakukan penguatan demi memaksakan dan melanggengkan kekuasaan mereka dengan mengajukan ideologi dan penguatan kekuatan militer. Padahal juga pada  periode tersebut di dunia Barat telah terjadi pemikiran pesimis atas pembangunan modernitas dan industrialisasi ekonomi sehingga dunia Barat mempelajari dunia Timur yang merupakan basis pandangan Moral, sedangkan dunia Timur baru mengadopsi pemikiran Barat yang cenderung Materialistik.


Dorodjatun mengambil contoh bagaimana kasus Mahatma Gandhi yang menelurkan pemikiran-pemikiran baru di India, pada awalnya dinilai terlalu idealistik dan tidak realistis. Namun pada akhirnya ide-ide Gandhi dapat diterima oleh masyarakat India dalam membangun awal kemerdekaan negaranya.


II. KESIMPULAN PANDANGAN PEMIKIRAN PENULIS.


Apakah itu Kaum Intelektual? Bagi saya yang disebut Kaum Intelektual adalah mereka yang telah melakukan edukasi diri secara ketat baik itu menempuh jalur formal atau non formal. Batas bawah pendidikan formal dalam membentuk suatu masyarakat yang lebih setara adalah pendidikan setingkat Sekolah Menengah Atas/Umum/Kejuruan.


Saya menilai dalam suatu relasi atau kontak dengan dunia luar akan selalu terjadi dalam dunia yang semakin terkoneksi dalam segala dimensi lapisan masyarakat. Baik untuk membangun kebutuhan ekonomi survivalnya maupun pembangunan sosio-kultur yang akan membangun peradaban dari suatu kondisi masyarakat tertentu, pada periode tertentu dan pada batas wilayah tertenu pula. Pembaharuan akan dibawa oleh suatu kelompok yang dinamakan “Creative Minority”, atau Bintang, atau “Major Minority”. Dalam pemikiran Islam diyakini bahwa akan terdapat pembaharu/”mujtahid” tiap 1.000 tahun sekali untuk memperbaiki pemikiran agama Islam. Pada pandangan Shariati perubahan terjadi dalam kurun waktu 100-200 tahun dalam suatu kondisi sosio-kultur masyarakat tertentu. Berapa tahun kurun waktu perubahan adalah bukan wilayah saya untuk melakukan penilaian dikarenakan hal itu memerlukan penelitian yang bersifat empiris.


Apakah pembaharuan/tata dunia baru terjadi melalui suatu “moral force” atau “political force”? Saya lebih menilai ini lebih efektif dan penting melalui gerakan “political force” dalam artian pengambil alihan suatu jabatan strategis dari suatu organisasi massa/sosial atau institusi kekuasaan/pemerintahan untuk mendorong terjadinya pembaharuan, namun juga tidak melupakan untuk melakukan suatu gerakan “moral force” baru diluar struktur organisasi kekuasaan/pemerintahan pada momen-momen tertentu berupa gerakan massa/gerakan sosial masif masyarakat untuk mendorong terjadinya perubahan. Apakah kemudian dinamika struktural kekuasaan lantas menjadikan seseorang intelektual yang terlibat di dalamnya dapat dikatakan suatu bentuk pelacuran intelektual? Saya belum menemukan jawabannya dikarenakan suatu terminologi kata “pelacuran intelektual” masih belum menemukan bentuk yang pasti.


Kemudian apakah perubahan-perubahan tersebut yang melibatkan Kaum Intelektual akan meninggalkan suatu bentuk tatanan lama masyarakat dalam artian penghilangan sama sekali atas tradisi masyarakat? Tentu saja hal itu akan memerlukan pengamatan lebih jauh dalam dinamika sosial suatu masyarakat tertentu dan pada periode tertentu dan pada wilayah tertentu. Yang pasti suatu bentuk pemikiran abadi akan terus berlanjut dan “survive” dalam perubahan-perubahan dalam upaya pembentukan tata dunia baru dalam suatu wilayah dan kondisi masyarakat tertentu yang telah dibuktikan nyata oleh sejarah peradaban manusia. Lalu hal-hal apa saja yang abadi? Tentu hal ini akan menimbulkan pertanyaan kemudian dalam setiap individu itu sendiri dan kelompok masyarakatnya.


Yang pasti adalah bahwa dalam dinamika historikalnya, arah perubahan selalu akan menuju pada pembebasan (liberalisasi/liberasi) dan kesetaraan (ekualitas) dalam kekuasaan publik dan lebih bersifat sekular-humanis. Yaitu berupa penyediaan alternatif-alternatif pembentukan otoritas-otoritas baru, wilayah-wilayah baru, cara-cara pemenuhan ekonomi survival baru demi terlaksananya kesetaraan sosial.


III. GLOSARIUM.


Stanley & Santoso, Aris. “Soe Hok Gie: Zaman Peralihan”. Gagas Media: Kota Depok. Tahun 2005 Masehi.

Ali Shariati. “Tugas Cendikiawan Muslim (Man and Islam)”. Terjemahan M. Amien Rais. Penerbit CV Rajawali: Kota Jakarta Utara. Tahun 1991 Masehi.

Aswab Mahasin & Natsir, Ismed. “Cendikiawan dan Politik”. Penerbit LP3S: DKI Jakarta. Tahun 1983 Masehi.

“Kata Dasar Intelektual”. Kamus Besar Bahasa Indonesia: https://kbbi.web.id; Indonesia. Tahun 2024 Masehi.

“Intelektual”. “Oxford English Dictionary”: https://www.oed.com; Inggris Raya. Tahun 2024 Masehi.

“Kahak, Qom”. Wikipedia: https://en.m.wikipedia.org; Amerika Serikat. Tahun 2024 Masehi.



Kota Bekasi, 26 Desember 2024 Masehi.

Teguh Triatmoko.


Siklus Bulan:

23% Pasang Surut.



Komentar

P.O.P 7

KISAH SKIZOFRENIA NO. 108

KISAH SKIZOFRENIA NO. 109

KISAH SKIZOFRENIA NO. 107

KISAH SKIZOFRENIA NO. 110

KISAH SKIZOFRENIA NO. 106

KISAH SKIZOFRENIA NO. 95

Tayangan Populer

KABAR CERITERA

HERBA

BISIK

PENGORBANAN

ISI

DIALOG ZAMAN

RUMPUT LIAR PENJAGA SANG MAWAR

SURAT UNTUK BUNDA