I. PENGERTIAN IJTIHAD.
Secara harfiah arti “ijtihad” adalah berupaya dengan bersungguh-sungguh. Secara general “ijtihad” dalam pengetahuan Islam adalah berupaya bersungguh-sungguh untuk menungungkapkan suatu makna teks Quran atau Hadits untuk menyelesaikan suatu kesulitan masalah dalam menjalani kehidupan beragama.
II. RUANG LINGKUP IJTIHAD.
“Ijtihad” dalam Islam dipahami sebagai sumber hukum ketiga setelah sumber hukum Quran dan Hadits. Walaupun sebenarnya pada zaman kekhalifahan para sahabat Muhammad sebelum terjadinya kodifikasi Quran dan Hadits, menjadi referensi contoh untuk pengambilan dasar-dasar melakukan “ijtihad”.
Yang perlu dipahami dalam “ijtihad” adalah Anda akan menemukan perseteruan antara teks vis a vis kontektual, doktrin vis a vis rasionalitas, tradisi vis a vis modernitas, fiqh vis a vis hikmah.
Pada dasarnya keragaman pandangan dalam Islam adalah hal yang tak dapat dihindari mengingat pada akhir hayat Muhammad pada tahun 632 M, umat muslim telah terbagi menjadi 70an golongan dan berseteru mengenai siapa yang berhak mengganti Muhammad dalam kepemimpinan umat Islam. Dua aliran yang terkemuka ke publik pada saat ini adalah golongan Sunni dan Syiah. Sunni mengambil jalan mengangkat Abu Bakar sebagai pengganti pertama Muhammad dengan pertimbangan kedudukan suku Quraisy dan Syiah lebih memilih Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Muhammad karena berdasarkan ikatan darah keturunan. Sunni berhasil memenangkan pengaruh di kisaran wilayah Mekkah dan golongan-golongan yang tidak sepakat berpencar ke seluruh penjuru wilayah jazirah Arab, termasuk Syiah yang memindahkan kekuasaannya ke wilayah Irak.
Pada kenyataannya Imperium Islam yang membawa peradaban Islam menuju zaman keemasan adalah Imperium yang berpusat di Kota Baghdad dengan membuka pintu “ijtihad” yang luas sehingga mampu bekerja sama dengan kaum Nasrani/Kristen dan Yahudi untuk mentransliterasikan ilmu-Ilmu Yunani Kuno dan dikembangkan menjadi pelbagai disiplin ilmu pengetahuan sehingga kemudian terbangunlah Darul Hikmah di Kota Cordoba, Spanyol sebagai pencapai peradaban zaman keemasan dalam Imperium Islam pada abad ke-9 M. Zaman keemasan dalam Imperium Islam ini ditengarai berlangsung antara 750 M sampai dengan 1.250 M.
Setelah itu, Islam mengalami kemerosotan dengan ditutupnya pintu “ijtihad” dan terciptanya standar baku “ijtihad” yang sulit dicapai karena banyak persyaran, pemahaman Islam menjadi rigid dan hanya terpaku masalah ibadah privat hingga akhirnya tercipta 5 mahzab yang tak bisa diganggu gugat oleh para pengikutnya. Akhirnya sampai saat ini peradaban Islam sulit untuk mengatasi permasalahan-permasalahan dunia modern kontemporer yang memerlukan pandangan segar yang bukan melulu mengenai ibadah privat saja sehingga mudah terjebak pada pandangan fundamentalisme agama. Hal ini juga dalam artian berarti jalur pemahaman fiqh doktrinal lebih dominan dan berkembang luas dibandingkan dengan jalur pemahaman hikmah yang sangat sedikit ditempuh umat muslim.
Yang menjadi pertanyaan mendasar dan krusial adalah hal-hal apa sajakah yang bisa dilakukakan tindakan “ijtihad”? Bagian manakah yang merupakan yang sudah final tak dapat dirubah dan bagian mana yang dapat dirubah dan diperbaharui? Tentu saja hal ini masih menjadi perdebatan dan hanya dapat dipahami dengan menyelami hirarki/gradual makna dari suatu teks Agama Islam.
Yang pasti banyak kaum intelektual muslim sepakat bahwa upaya “ijtihad” harus berlandaskan untuk kemaslahatan orang banyak.
III. URGENSI MEMBUKA KEMBALI PINTU IJTIHAD SECARA LUAS UNTUK MENJAWAB TANTANGAN-TANTANGAN DUNIA MODERN.
Membuka kembali pintu “ijtihad” secara luas untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kompleksitas dunia modern saat ini sangat diperlukan oleh umat Islam terutama kaum intelektual harus mempelopori mengemukakan perspektif-perspektif yang baru atau mampu menyegarkan kembali pemahaman agama Islam yang sudah rigid.
Yang harus diingat dan dipertimbangkan dalam mengambil keputusan untuk melakukan upaya “ijtihad” adalah azas kemaslahatan orang banyak. Arah kemaslahatan ini dibagi dalam 4 perkembangan evolusi untuk mengembangkan visi “ijtihad”. 1. Kemaslahatan antar suku, 2. Kemaslahatan antar muslim, 3. Kemaslahatan antar orang-orang beriman dan 4. Kemaslahatan untuk Kemanusiaan (baik orang-orang beriman atau non iman agama langit).
Ini berarti tradisi rasional dan hikmah harus dihembuskan kembali ke dalam kultur peradaban Islam mengingat landasan zaman Renaisans Eropa didasari oleh prinsip Rasionalitas dan Liberasi.
Kemudian arah dari hasil-hasil pemikiran “ijtihad” dari para intelektual Islam ini adalah terwujudnya upaya pelembagaan dari hasil ijtihad menjadi hasil keputusan sumber hukum maupun landasan teori dan berupaya mengeimplementasikan program-program dari hasil “ijtihad” tersebut secara terstruktur melembaga baik tingkat Nasional maupun tingkat Internasional.
IV. DAFTAR PUSTAKA.
Manji, Irshad. “Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini (“The Trouble with Islam Today: A Wake-Up Call for Honesty and Change”)”. Terjemahan: Herlina Permata Sari. Penerbit: Nun Publisher: Kota Jakarta Selatan. Tahun 2008 Masehi.
Misrawi, Zuhairi & Novriantoni. “Doktrin Islam Progresif: Memahami Islam Sebagai Ajaran Rahmat”. Penerbit LSIP Jakarta: Kota Tangerang Selatan. Tahun 2004 Masehi.
Murata, Sachiko. “The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam (“The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought”). Penerbit Mizan: Kota Bandung. Tahun 1997 Masehi.
Hosen, Ibrahim. et al. “Ijtihad dalam Sorotan”. Penerbit Mizan: Kota Bandung. Tahun 1988 Masehi.
Kota Bekasi, 16 Februari 2025 Masehi.
Teguh Triatmoko.
Siklus Bulan:
90% Pasang Surut.
Komentar